PENTINGKAH LEMBAGA SENSOR FILM?
Sebelum wisata mata anda sampai ke kalimat pertama yang sedang anda baca ini, tentunya pandangan anda sudah mengoleksi beberapa butiran huruf yang saya gabungkan menjadi sebuah judul dari artikel ini."PENTINGKAH LEMBAGA SENSOR FILM". dari judulnya saja, sudah cukup mengundang berbagai persepsi bagi pecinta film yang kebetulan kesasar di blog yang seadanya ini.. ( waduch.... kapan mulainya yach)
Ocreee..
perdebatan tentang hal yang satu ini mungkin uda sering dipublikasikan diribuan blog atau web di jagad maya. jadi saya hanya mengungkapkan pendapat saya doank.
karena saya salah satu dari sekian banyak pencinta film yang ada di muka bumi, tentunya pengen banget nonton film yang original alias tanpa sensor. itu hanya pendapat pribadi saya sebelum mempertimbangkan hal-hal lainnya.
Beberapa waktu lalu, saya sempat membaca artikel dari www.perspektip.net yang membahas tentang sensor ini. dalam artikel itu, salah satu orang yang berada dibelakang layar sebuah film nasional yang sempat menghebohkan dunia film indonesia mengatakan bahwa, "keberadaan lembaga sensor film hanya mengekang kebebasan berkreasi dan berekspresi". Dengan kata lain, hal itu membatasi kreatifitas para sineas film dalam berkarya.
Kalau kita sering nonton film-film luar yang begitu banyak menghadirkan adegan-adegan cabe rawit atau panas, terutama tentang cinta, pastinya ada kepuasan tersendiri ketika menyaksikan adegan-adegan yang demikian itu, apa lagi kita sebagai remaja yang masih dalam masa transisi. tanpa disadari, gaya hidup yang teripta di atas kertas skenario kayak gitu menjelma sebagai guru yang harus diikuti. mungkin sebagian orang mengatakan bahwa sensor paling bijak datang dari diri sendiri. saya sangat sejutu karena sayapun melakukan hal yang sama.
Namun, mengingat masyarakat indonesia yang heterogen hampir dari segala aspek, tentunya tidak mudah menilai prilaku dari masing-masing komunitas apalagi individu, dan tentunnya mempunyai tingkatan yang berbeda baik dari pengetahuan, keyakinan, dan semacamnya dalam mengkonsumsi suatu tayangan di televisi, VCD, bioskop dan lain sebagainya. inilah yang menjadi kekhawatiran kita bersama, ketika penonton larut dalam sebuah cerita film dan adegan-adegan yang ada di dalamnya, maka tidak menutup kemungkinan akan dibawa dikehidupannya sehari-hari. entah cara berpakaiannya, bicara, berprilaku dan bersikap serta gaya-gaya hidup lainnya yang cenederung mengikuti idolanya di balik layar.
Kalau pesan dan adegan dalam sebuah tayangan menyajikan sesuatu yang positif, maka demikian juga penontonnya. dan apabila gaya penyampaian pesan yang meski ke arah positif dikemas dalam adegan-adegan yang sedikit berbeda dari yang namanya positif alias negatif, maka dengan tidak ragu-ragu pula akan dikikuti.
Atas nama kebebasan, sensor itu menjadi hal yang sangat mengganggu dalam melahirkan karya-karya film yang menarik. akan tetapi, ketika bicara norma-norma yang berlaku di negara kita, tentu saja itu akan berseberangan dengan kebebasan yang sebenarnya yang tidak mempunyai batasan kalau dipandang secara universal.
Nah,,,, karena kita masayarakat indonesia yang berdiri di atas pondasi pancasila yang berkeTuhanan, maka makna kebebasan itu harus sedikit dipersempit dengan aturan-aturan yang diberlakukan. ini menjadi suatu pro dan kontra yang mungkin tidak akan berkesudahan dari waktu ke waktu. Aturan-aturan tentang film yang ditentukan dalam UU dan aturan-aturan lainnya mengenai hal itu harusnya dianggap sebuah cambuk yang memecut dan memacu kreatifitas yang lebih tinggi lagi buat para sineas film indonesia untuk melahirkan maha-maha karya yang berkualitas tanpa melewati pintu sensor.
Jadi kesimpulan saya, meski diatas saya menyatakan secara pribadi bahwa kurang setuju dengan sensor-sensoran. tapi sebagai warga indonesia yang sadar akan kelemahan dan kerapuhan kita dalam menanggapi suatu pengaruh dari berbagai sisi kehidupan khususnya film. saya mendukung keberadaan Lembaga Sensor Film Indonesia untuk menyaring tayangan-tayangan yang layak untuk dinikmati oleh masyaraikat Indonesia selama dijalani dengan frofesional dan penuh tanggungjawab tanpa merugikan pihak-pihak yang bekerja keras untuk melahirkan tontonan terbaik untuk kita semuanya.
Sekali lagi, apapun yang saya tulis, itu semata-mata dari pemikiran saya sebagai orang awam. jika pembaca punya pendapat lain tentang hal yang cukup membosankan di atas, silahkan menulis sebebas-bebasnya di kotak komentar. karena alasan pertama saya menulis artikel ini adalah untuk menggali pengetahuan dari teman-teman yang mungkin lebih tau dan paham tentang hal ini.
Buat seluruh pencinta film Indonesia dan Tokoh-tokoh super dibalik layar, jangan pernah berhenti berkarya untuk memberi motivasi pada generasi anda berikutnya.
Salam hangat penulis buat pembaca yang dari tadi ngantuk pengin tidur karena menghitung huruf yang kurang teratur dari hasil tarian jari yang ngelantur....
Ocreee..
perdebatan tentang hal yang satu ini mungkin uda sering dipublikasikan diribuan blog atau web di jagad maya. jadi saya hanya mengungkapkan pendapat saya doank.
karena saya salah satu dari sekian banyak pencinta film yang ada di muka bumi, tentunya pengen banget nonton film yang original alias tanpa sensor. itu hanya pendapat pribadi saya sebelum mempertimbangkan hal-hal lainnya.
Beberapa waktu lalu, saya sempat membaca artikel dari www.perspektip.net yang membahas tentang sensor ini. dalam artikel itu, salah satu orang yang berada dibelakang layar sebuah film nasional yang sempat menghebohkan dunia film indonesia mengatakan bahwa, "keberadaan lembaga sensor film hanya mengekang kebebasan berkreasi dan berekspresi". Dengan kata lain, hal itu membatasi kreatifitas para sineas film dalam berkarya.
Kalau kita sering nonton film-film luar yang begitu banyak menghadirkan adegan-adegan cabe rawit atau panas, terutama tentang cinta, pastinya ada kepuasan tersendiri ketika menyaksikan adegan-adegan yang demikian itu, apa lagi kita sebagai remaja yang masih dalam masa transisi. tanpa disadari, gaya hidup yang teripta di atas kertas skenario kayak gitu menjelma sebagai guru yang harus diikuti. mungkin sebagian orang mengatakan bahwa sensor paling bijak datang dari diri sendiri. saya sangat sejutu karena sayapun melakukan hal yang sama.
Namun, mengingat masyarakat indonesia yang heterogen hampir dari segala aspek, tentunya tidak mudah menilai prilaku dari masing-masing komunitas apalagi individu, dan tentunnya mempunyai tingkatan yang berbeda baik dari pengetahuan, keyakinan, dan semacamnya dalam mengkonsumsi suatu tayangan di televisi, VCD, bioskop dan lain sebagainya. inilah yang menjadi kekhawatiran kita bersama, ketika penonton larut dalam sebuah cerita film dan adegan-adegan yang ada di dalamnya, maka tidak menutup kemungkinan akan dibawa dikehidupannya sehari-hari. entah cara berpakaiannya, bicara, berprilaku dan bersikap serta gaya-gaya hidup lainnya yang cenederung mengikuti idolanya di balik layar.
Kalau pesan dan adegan dalam sebuah tayangan menyajikan sesuatu yang positif, maka demikian juga penontonnya. dan apabila gaya penyampaian pesan yang meski ke arah positif dikemas dalam adegan-adegan yang sedikit berbeda dari yang namanya positif alias negatif, maka dengan tidak ragu-ragu pula akan dikikuti.
Atas nama kebebasan, sensor itu menjadi hal yang sangat mengganggu dalam melahirkan karya-karya film yang menarik. akan tetapi, ketika bicara norma-norma yang berlaku di negara kita, tentu saja itu akan berseberangan dengan kebebasan yang sebenarnya yang tidak mempunyai batasan kalau dipandang secara universal.
Nah,,,, karena kita masayarakat indonesia yang berdiri di atas pondasi pancasila yang berkeTuhanan, maka makna kebebasan itu harus sedikit dipersempit dengan aturan-aturan yang diberlakukan. ini menjadi suatu pro dan kontra yang mungkin tidak akan berkesudahan dari waktu ke waktu. Aturan-aturan tentang film yang ditentukan dalam UU dan aturan-aturan lainnya mengenai hal itu harusnya dianggap sebuah cambuk yang memecut dan memacu kreatifitas yang lebih tinggi lagi buat para sineas film indonesia untuk melahirkan maha-maha karya yang berkualitas tanpa melewati pintu sensor.
Jadi kesimpulan saya, meski diatas saya menyatakan secara pribadi bahwa kurang setuju dengan sensor-sensoran. tapi sebagai warga indonesia yang sadar akan kelemahan dan kerapuhan kita dalam menanggapi suatu pengaruh dari berbagai sisi kehidupan khususnya film. saya mendukung keberadaan Lembaga Sensor Film Indonesia untuk menyaring tayangan-tayangan yang layak untuk dinikmati oleh masyaraikat Indonesia selama dijalani dengan frofesional dan penuh tanggungjawab tanpa merugikan pihak-pihak yang bekerja keras untuk melahirkan tontonan terbaik untuk kita semuanya.
Sekali lagi, apapun yang saya tulis, itu semata-mata dari pemikiran saya sebagai orang awam. jika pembaca punya pendapat lain tentang hal yang cukup membosankan di atas, silahkan menulis sebebas-bebasnya di kotak komentar. karena alasan pertama saya menulis artikel ini adalah untuk menggali pengetahuan dari teman-teman yang mungkin lebih tau dan paham tentang hal ini.
Buat seluruh pencinta film Indonesia dan Tokoh-tokoh super dibalik layar, jangan pernah berhenti berkarya untuk memberi motivasi pada generasi anda berikutnya.
Salam hangat penulis buat pembaca yang dari tadi ngantuk pengin tidur karena menghitung huruf yang kurang teratur dari hasil tarian jari yang ngelantur....
Komentar
amazing bro.....
blogmu meriah euy....
mendukung LSI or tidak?
klo aq secara tegas menolak adanya LSI. .
Cz banyak adegan "indah" yang di cut cuma alih" menjunjung norma ketimuran. .
oh ya jgn lupa tengok n koment blog aq y. .
wahyudarwanto.blogspot.com
stuju sih kalau di bilang ngambang or plinplan dsb.
tetapi selalu ada alasan untuk sebuah pilihan.
kalau dengan alih menjunjung norma ketimuran, itu tidak cukup. tapi fakta yg terjadi masyarakat yg cenderung meniru adegan di film terutama yg panas-panas, apa lagi di tempat umum. mungkin itu salah satu masalah yg mengharuskan LSF tetap bertahan.... itu merupakan tantang bagi sineas film indonesia untuk menlurkan karya yg pantes ditonton dan dapat penghargaan tanpa nyangkut digerbang sensor..
contohnya karya-karya dedy miswar dewasa ini.
oh...yii..
thank's yaw...
@ syem
Salute to Dedy Mizwar