“Mas, saya belum makan dari kemarin,” suara itu datang dari trotoar sebelah kanan jalan yang berakhir di gerbang belakang kempusku. Setelah menoleh kira-kira 90 derajat ke arah kanan, terlihat laki-laki tua berumur sekitar 60-an dengan pakaian yang mengenaskan serta ekspresi wajah penuh keluh. Sosok itu sebenarnya sudah ratusan kali menyapaku tiap aku berangkat ke kampus. Anehnya, aku tidak pernah bosan menjawab sapaan familiar itu dengan uang receh. Ingin sekali mengabaikannya, tapi langkahku terasa berat kalau harus melanjutkan perjalanan tanpa menoleh dan memberinya sesuatu. Penghuni trotoar itu ahli sekali memainkan perannya, peran yang dibuat-buat atau memang hanya itu satu-satunya cara yang bisa dia lakukan untuk bertahan hidup? Aku belum tahu tentang itu. Aku meneruskan perjalanan dan memasuki kampus dengan langkah tergopoh-gopoh karena jarum jam sudah mulai meninggalkan angka tujuh. ” Assalamu’alaikum, ” ucapku di depan pintu kelas yang masih terbuka. “ Wa’a