Postingan

Menampilkan postingan dari Desember 20, 2012

Debu

Aku bukan pujangga yang pandai menghibur dengan sejuta sajak indah apalagi hidup megah Aku hanya debu jalanan Yang datang kotori ruang khayalmu Lalu diterbangkan angin Tapi kau selalu membawaku kembali Cintamu begitu kuat Menempah debu ini jadi permata Permata yang khiasi hatimu Selamanya Sampai pada satu titik dimana aku tak sanggup lagi berkata

Laci Laci Trotoar

“Mas, saya belum makan dari kemarin,” suara itu datang dari trotoar sebelah kanan jalan yang berakhir di gerbang belakang kempusku. Setelah   menoleh kira-kira 90 derajat ke arah kanan, terlihat laki-laki tua berumur sekitar 60-an dengan pakaian yang mengenaskan serta ekspresi wajah penuh keluh. Sosok itu sebenarnya sudah ratusan kali menyapaku tiap aku berangkat ke kampus. Anehnya, aku tidak pernah bosan menjawab sapaan familiar itu dengan uang receh. Ingin sekali mengabaikannya, tapi langkahku terasa berat kalau harus melanjutkan perjalanan tanpa menoleh dan memberinya sesuatu. Penghuni trotoar itu ahli sekali memainkan perannya, peran yang dibuat-buat atau memang hanya itu satu-satunya cara yang bisa dia lakukan untuk bertahan hidup? Aku belum tahu tentang itu. Aku meneruskan perjalanan dan memasuki kampus dengan langkah tergopoh-gopoh karena jarum jam sudah mulai meninggalkan angka tujuh.  ” Assalamu’alaikum, ” ucapku di depan pintu kelas yang masih terbuka. “ Wa’a

Lorong Kebun Bambu

Gambar
“Allahu Akbar Allahu Akbar,” dst… Gema Takbir riuh gemuruh seantero langit sore desa kecilku. Itu pertanda bahwa matahari tengah pamit mengundurkan diri selama dua belas jam ke depan. Umat muslim berbondong-bondong ke masjid untuk menunaikan shalat maghrib secara berjama’ah. Fenomena yang sudah jadi tradisi tiap umat islam sejak Sang Utusan terakhir Muhammad SAW membawa islam untuk umat manusia. Itulah salah satu keindahan menjelang petang di desa Mapin Kebak, tempat kudilahirkan, yang seratus persen warganya memeluk agama islam. Desa itu adalah potongan dari kecamatan Alas Barat yang merupakan hasil pengembangan wilayah dari Kabupaten Sumbawa Besar yang tak lain adalah salah satu wilayah terbesar dari propinsi NTB. Ketika itu umurku masih empat belas tahun, kelas dua SLTP, istilahnya masih begitu, sekarang orang-orang kembali pada istilah SMP yang sempat ditinggal beberapa tahun. Kisah yang akan kawan-kawan simak ini adalah saat-saat paling horror dalam hidupku. Sore yan