Laci Laci Trotoar
“Mas, saya belum makan dari
kemarin,” suara itu datang dari trotoar sebelah kanan jalan yang berakhir di
gerbang belakang kempusku. Setelah menoleh
kira-kira 90 derajat ke arah kanan, terlihat laki-laki tua berumur sekitar 60-an
dengan pakaian yang mengenaskan serta ekspresi wajah penuh keluh.
Sosok itu sebenarnya sudah
ratusan kali menyapaku tiap aku berangkat ke kampus. Anehnya, aku tidak pernah
bosan menjawab sapaan familiar itu dengan uang receh. Ingin sekali
mengabaikannya, tapi langkahku terasa berat kalau harus melanjutkan perjalanan
tanpa menoleh dan memberinya sesuatu. Penghuni trotoar itu ahli sekali memainkan
perannya, peran yang dibuat-buat atau memang hanya itu satu-satunya cara yang
bisa dia lakukan untuk bertahan hidup? Aku belum tahu tentang itu.
Aku meneruskan perjalanan dan
memasuki kampus dengan langkah tergopoh-gopoh karena jarum jam sudah mulai
meninggalkan angka tujuh.
”Assalamu’alaikum,” ucapku di
depan pintu kelas yang masih terbuka.
“Wa’alaikumsalam,” jawab para
penghuni kelas.”kenapa terlambat”? Tanya dosenku yang terkenal sangat disiplin
waktu. “Maaf Pak, saya terjebak macet dijalan,” alasanku. “Alasan kalsik,” jawabnya ketus. “saya tidak akan
mengulanginya lagi,” janjiku. “Ya sudah, cepat masuk.” Lanjutnya. “Kalau
terlambat lagi, maka tidak ada toleransi, dan kamu tidak akan saya ijinkan
mengikuti kuliah saya,” pungkasnya dengan nada yang sangat tegas. Aku tahu
ancaman itu tidak main-main, karena sudah ada beberapa temanku yang sudah dapat
dipastikan harus mengulang semester berikutnya karena terlambat beberapa kali.
Kuliah pagi itu membahas
tentang kesenjangan sosial dalam masyarakat perkotaan. Pada mulanya, proses
perkuliahan berjalan tenang dan semua mahasiswa terlihat sangat hikmat menyimak
keterangan demi keterangan yang disampaikan oleh Pak dosen. Sisa waktu tinggal
50 menit lagi, seperti biasa mahasiswa diberikan kesempatan untuk bertanya
terkait dengan materi yang sedang dibahas. Aku menjadi yang pertama
mengacungkan tangan untuk membuka diskusi.
“Ya, silahkan Syam,” ijin dari
Pak dosen.
“Bagaimana dengan keberadaan
pengemis?” tarik nafas sejenak.
“Apakah tidak ada solusi untuk
mengurangi jumlah mereka yang kian bertambah?” tenang sesaat.
“Itu saja yang ingin saya
tanyakan,” kemudian saya akhiri dengan ucapan terima kasih.
Suasana kelas hening sejenak.
“Saya Pak,” kata Rudi salah satu pendebat ulung di
kelasku mengacungkan tangannya penuh semangat dan memecah keheningan. “Saya
ingin menanggapi pertanyaan dari teman saya tadi,” lanjutnya. “Ya, silahkan
Rudi” balas Pak dosen merestui. Rudi menarik nafas dan mulai berargumentasi.
“Sejauh yang saya ketahui,” dengan logat Makasarnya yang khas dia melanjutkan
retorikanya. “Sebagian besar sengemis itu hanya berpura-pura, mereka sengajah
menunjukkan wajah serta penampilan memperihatinkan untuk menyentuh rasa
kemanusiaan kita.”
Rudi semakin bersemangat dan
kembali melanjutkan pernyataannya. “Jadi, sebaiknya jangan membiasakan diri
untuk memberikan mereka uang, karena itu sama saja dengan membiarkan mereka
semakin malas bekerja. Padahal kalau saya perhatikan, kebanyakan dari mereka
masih tegap dan kuat bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Terakhir, saya
ingin memberikan informasi penting terkait persoalan ini. Beberapa hari yang
lalu, saya membaca berita yang mengejutkan dari sebuah surat kabar, isinya
adalah tentang seorang pengemis yang berhasil menyokong pendidikan anaknya
hingga perguruan tinggi. Semua biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan hidup dan
pendidikan anaknya diperoleh dari hasil mengemis. Terima kasih” pungkasnya.
Aku tidak percaya dengan apa
yang kudengar. Informasi yang disampaikan Rudi itu memang sangat mengejutkan.
Bayangkan saja, seorang pengemis yang kerjanya hanya mengumpulkan koin demi
koin, bisa memberikan pendidikan hingga perguruan tinggi untuk anak-anaknya.
Tidak heran kalau jumlah pengemis semakin meningkat di negeri ini. Apa mungkin
pengemis-pengemis yang saya lihat selama ini adalah aktor-aktor jalanan yang
sudah sangat pandai memainkan perannya?
Jawaban atas pertanyaan yang selama ini selalu menggelayuti pikiranku
tiap bertemu dengan Pak tua penghuni trotoar itu sedikit lebih jelas. Tapi,
bagaiman kalau para pengemis itu memang benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa
selain minta-minta? Ah, begitu banyak pertanyaan yang sulit sekali kutemukan
jawabannya. Mungkin pemikiran atas segala sesuatu tentang pengemis akan
seterusnya seperti itu, sampai aku benar-benar mengetahui kenyataannya secara
langsung.
Masih dalam pergolakan batin saya, tiba-tiba kelas diramaikan dengan
acungan tangan teman-teman lain yang juga ingin menyatakan pendapatnya. Silih berganti mereka mengungkapkan
pemikiran dan pengalamannya masing-masing tentang keberadaan pengemis.
“Saya setuju dengan Rudi Pak,”
Joko menyelia tanpa ijin dengan suara lantangnya. “sudah seharusnya
pengemis-pengemis itu dibinasakan dari negeri ini,” imbuh mahasiswa asal
Surabaya itu. “saya juga pernah mendengar informasi itu Pak,” Lastri menyambut
pernyataan Joko tanpa jedah. ”Bahkan, beberapa hari lalu saya merasa dipaksa
oleh seorang gembel untuk memberinya uang, mereka kadang suka lewat batas,”
mahasiswi asli Malang itu mengakhiri pengakuannya dengan ekspresi datar.
“Kalau saya sendiri tidak ingin menyalahkan
orang-orang yang memilih jadi pengemis itu,” tiba-tiba Widiyah yang dari tadi mengerutkan
kening akhirnya menyatakan penolakannya atas pernyataan teman-teman sebelumnya.
Dalam hatiku “Nah, ini orang yang paling
aku tunggu pendapatnya.”
Widiya adalah mahasiswi yang
selalu duduk bersebelahan denganku dan dia yang paling pintar diantara
teman-teman yang lain. Tidak ingin sombong, kadang aku juga bisa mengimbanginya
dalam beberapa materi perkuliahan. Ah, sudahlah. Mari kita lanjutkan ceritanya.
Widiyah melanjutkan ”kalau saja pemerintah mampu menyediakan
lapangan kerja yang cukup untuk rakyat Indonesia yang membludak ini, maka tidak akan ada pengemis” katanya berapi-api. ” Jadi,
jangan salahkan mereka yang mengemis di trotoar, terminal, bahkan perumahan”
tahan nafas sejenak sambil merapikan jilbabnya. ”Kenapa para penguasa begitu
buta dan tuli. Mereka tidak melihat penderitaaan rakyatnya, tidak mendengar
keluhan rakyatnya, bahkan mahasiswa seperti radio rusak saat menyampaikan
aspirasi mereka. Dewan juga hanaya bersemangat saat menerima gaji, tapi tak
pernah serius apalagi bersemangat saat bicara kemiskinan rakyat jelata.”
berhenti lagi sejenak. ”Wow mantab tnan, tapi
ojo muntab toh Mba” joko kembali menyelinap tanpa permisi. ”Diam kamu”
Widiyah tambah bergelora. ”bayangkan saja, Ibu Pertiwi yang terkenal kaya
alamnya, bangga atas prestasi anak-anaknya, dan semacamnya itu. Ngurus pengemis
aja tidak becus.” demikian pernyataannya sambil menatap tajam ke arah Joko. ”itu
saja Pak, terima kasih” Widiyah mengakhiri argumentasinya yang meluap-luap.
Tpuk—tpak—tpuk—tpak, gema
tepuk tangan teman-teman sekelas setelah Widiyah mengakhiri banjir retorikanya
yang menurut saya sedikit berlebihan, tapi masuk akal. ”Bagaimana Syam?” Pak
dosen mengembalikan diskusi pada sang pemicu ledakan, yang tidak lain dan tak
bukan adalah aku. ”Terima kasih teman-teman sudah menanggapi pertanyaan saya”
jawabku sopan. ”Berdasarkan pendapat teman-teman, saya berkesimpulan” ambil
tempo sekejap. ”Laci-laci trotoar itu”,
demikian gelar yang kuberikan kepada pengemis. ”Mereka juga manusia seperti
kita yang berhak mendapat kehidupan layak, seperti janji penguasa sejak jaman
lampau ketika UUD 45 ditetapkan sebagai aturan paling mendasar negeri tercinta
ini” lanjutku dengan sedikit berlaga ala mahasiswa kecacingan didepan publik
ketika sedang orasi saat demo. ”berikan saja seikhlasnya, tinggalkan saja jika
curiga, biarkan pemerintah melakukan tugasnya, kita kerjakan saja tugas kita. Suatu
saat kita akan mendapat giliran memegang tampuk kekuasaan dan kita akan ingat
yang kita bicarakan hari ini.”
Suasana kelas kembali hikmat,
sampai akhirnya waktu telah meninggalkan hak kami menerima pengajaran dari
dosen pagi itu. Aku langsung pulang, karena hanya ada satu mata kuliah hari
itu.
Seperti biasa, aku selalu
mengambil jalan setapak belakang kampus saat pulang dari pertarungan pemikiran
yang bahkan sulit dicernak. Lagi dan lagi, Pak tua yang tadi pagi telah sukses
menuntaskan perannya sebagai pendulang keikhlasan. Kali ini aku tidak lagi ibah
seperti sebelumnya, entah kenapa. Mungkin karena pagi tadi sudah kuberikan
beberapa keping logam penguasa dunia. Tapi Pak tua itu, laci trotoar itu, aktor
jalanan itu, pemalas itu, perusak pemandangan itu seolah tak mengenalku. Dia kembali
menadahkan tangannya yang keriput untuk meminta-minta. Hanya 3 SKS, 150 menit
yang lalu bertatap muka denganku. Mungkin faktor umur yang buat dia pikun, atau
ini adalah episode berikutnya dari cerita awalnya sebagai tuna wisma. Nampaknya
ini akan jadi tradisi tunggal dalam seni peran pada lakon seniman jalanan.
Laci-laci trotoar yang
memprihatinkan sekaligus menjengkelkan. Jangan tanyakan kenapa ada yang
demikian kawan. Senada dengan yang dikatakan Widiyah, bahwasanya mengemis itu
hanya pilihan sulit yang terpaksa diambil dan juga menjadi fenomena yang
mengambarkan ketidakbecusan penguasa mengusrusi mereka.
Jadi, kenyataan bahwa di
negeri yang gandrung membanggakan diri ini masih belum patut dikatakan negeri
yang membanggakan, sebab masih banyak grafik yang terlihat pincang dalam sensus
penduduk ketika dilihat dari aspek perekonomian. Semoga menteri pemerintah
cepat sembuh dari penyakit buta tuli yang lumayan akut. Demikian juag pengemis
sembuh dari penyakit malas. Dan yang terakhir, mahasiswa yang kadang tidak
malu-malu menyatakan diri sebagai kaum terpelajar benar-benar orang terpelajar.
Komentar