Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2023

Pena yang Terhunus

Bolehkah ku tantang pedang dengan sajak...? Aku yang menantang dengan pena Bertahan dengan tinta Berjuang di atas kertas Lalu berteriak bersama rima Merangkul butiran huruf Terangkai dalam kalimat Tersusun menjadi bait Lalu tuntas menjadi puisi Omong kosong katanya Pesilat lidah cemohnya Jajahan emosi celotehnya Pemuja ilusi kemudian ejeknya Gila kulakukan itu Sebab pedang bermata tajam Tapi sajak ini pendarkan tombak Cairkan besi dan baja Bukankah lidah lebih tajam? Tinta itu runcing Pena itu pekat membutakan Kertas itu lapang dan panjang Biarkan bintang runtuh Tak sudi mengelak walau sejengkal Biarkan belantara menggurun Tak sudi mengemis tuk berteduh Hah,, Aku tak akan menyerah Meski dibujuk seribu dewi Hanya Tuhan Hanya Tuhan Hanya Tuhan yang mampu membuatku gentar Hanya Tuhan Sebab aku tunduk & patuh pada-Nya Allah Inilah hamba-Mu yang menantang penantang-Mu

Bukit Temaram

Ketika candikala dipajang di kaki langit Rona jingga warnai gemawan di barat Matahari perlahan pamit lalu redup Sisa sisa rona itu masih ada di balik bukit Bukit yg temaram warisan langit sore Lalu ketika malam memeluk bumi Bintang kemukus berkedip genit Ia menggoda gugusan gemini Bulan masih mengintip malu malu Membawa kejutan bersama purnama Itu nanti ketika malam beranjak larut. Saat ini di teras Sendiri saja menunggu momentum itu Biarkan saja nyamuk pesta suka suka Pun dingin tak resahkan hati Sebab aku ingin nikmati suasana ini Syam shoel

Sajak Untuk Bunda

Dara Cantik menawan Dipinang dalam sanjungan Terpuji segala pengorbanan Dalam rahim kau tawan harapan Secawan kasihmu palingkan telaga Sebait do’amu tenangkan tiap tapak perjalanan Belantara menangis jika kau bersedih Samudera bergelombang hebat jika kau murkah Ibu… Sungguh Tak kan cukup segala harta Tak kan cukup segala pujian Tak kan cukup segala apapun Tuk balas kesungguhan muliah hatimu Air mata Darah Keringat Kehangatan Titah dan restumu adalah keseluruhan defenisi tentang cinta Maka bunda adalah cinta Kerna cinta hanya bisa diberikan bunda Allah, Tuhanku penguasa segala Berikan bunda tempat istimewah dibawah Aras-Mu Syam Shoel

Menggenggam Fajar di Puncak Mantar

Gambar
Merayap perlahan dari kedalaman malam Menabur hangat pada detik pertama Merabah rabah teras langit yg berkabut Gemawan pagi itu hadirkan rona kuning Ada seribu kicau dari celah-celah ranting pohon Burung-burung itu tak mau diam & terus bernyanyi Riang menyambut fajar dari bukit timur Seakan itu hari pertama mereka Aku dgn hati bergetar memeluk pagi Pagi yg bercanda dgn buih di bawah sana Di puncak itu kugenggam fajar Fajar yg menepis dingin malam puncak mantar Hati kembali bergetar Kabut2 lembut itu serupa kapas terhambur Berbisik pelan & gelayuti dedaun berembun Semua itu bukan imajinasi tapi realita alamku Hanya aku yg berdiri menggenggam fajar menjadi satu-satunya ketidakmungkinan Cukuplah indera netra nikmati itu Biarkan kegilaan melaju jauh bersama ilusi Ilusi tentang Fajar yg kugenggam Bukankah itu hebat? Syam Shoel

Gadis Berkerudung

Cinta berkidung mendung Dari gadis berkerudung Mengapakah Ia terlihat murung Atau mungkin hanya sedang bingung Mungkin saja terlihat tak pasti Tak serupa takdir tentang mati Yang mesti menghampiri lalu pergi tak kembali Lalu kenapa tak segera benahi hati Bukankah aku dekat Selagi masih sempat Mengapa tak dibuat rapat Kemudian berjalan dengan bahu melekat Duhai gadis berkerudung Kapankah istikharahmu rampung Untuk berjajar di atas panggung Seraya berdendang dalam senandung Syam Shoel

Kumiliku Seutuhnya

Dirimu bagaikan jangkrik Berdendang dalam gelap Tapi Semua orang mencarimu Kamu serupa lalat Tak bosan kelilingi aku Meski ajal mengintai dari bawah telapak tangan Engkau bagaikan rembulan Cahayamu dpt kugenggam Tp ragamu tak pernah bisa kusentuh Makanya, Aku ingin kau jadi kue saja Aromamu dapat kuhirup Manismu dapat kukecap Lezatnya dirimu dapat kunikmati Hangatmu dapat kurasakan Dan yang pasti.... Keseluruhan dirimu sepenuhnya jadi bagian diriku ketika kutelan. Bukankah itu harapan semua org? Syam Shoel

Buih Menggurui

Berlabuh di selah selah buih yang merayap genit Mendayu merayu dibibir pantai Lalu lindap dikedalam pasir Sebagian pias begitu saja sebelum bercumbu dengan pantai Sebagian menukik angkuh di atas ganas gelombang Beberapa berhamburan ditepis tebing berkarang Kemudian merayap pelan menggoda terumbu karang dibawahnya Lalu meliuk liuk di tengah pusaran arus Perlahan tenggelam & punah Hilang lagi Datang lagi Lenyap lagi Menantang lagi Akhirnya tenang ketika angin diam Akhirnya pudar ketika ombak mereda Akhirnya semua berakhir pada detik pertama kuberpaling pada ilusi kefanahan pantai sore itu sambil melangkah meninggalkan senja. Kita adalah buih buih itu Akan berakhir dalam ketidakpastian Kecuali orang orang yg berfikir & memberi manfaat. Seumpama sebagian buih yg membawa nafas bagi makhluk2 kecil dipermukaan bahari. Perjuangannya menuju kematian meninggalkan pesan bagi kehidupan lain bahwa hidup itu sementara. Tapi tak mudah meski hanya dua tiga tempo.

Langit Menyapa

Mencoba terjemahkan isyarat langit Ronanya biru menawan Awan awan putih ditawan angin sesekali berhambur lalu lenyap Pun angin hanya mengendus endus malas Terang saja awan tak liar Sebab Ia ditawan angin yg diam Bisa saja hujan merajam bumi bertubi2 Tapi itu mungkin sore nanti suasana gerah ini terlalu lumrah Lumrah setelahnya kemudian hujan runtuh Situasi ini mencurigakan Langit memberi isyarat dgn panas & godaan gemawan putih. Hujan atau tidak? Liat saja mendung yg mengintip di lereng bukit sana, sembunyi dgn meyiapkan kejutan yg datang brsama geletar petir.

Jejak-jejak Kulih Tinta

Merenung lalu menulis Melihat kemudian ditulis Merasakan langsung menulis Mendengar segera menulis Goresan-goresan aksara Bersahutan dalam kalimat Bait-bait romantis Berjuntai dalam alinea Terurai dan berhamburan menohok menuju hati indera pembaca Tinta pena itu merembes & perlahan-lahan mengukir diksi yg digelayuti imajinasi, lalu terciptalah puisi-puisi yg menggelitik hati.

Saudaraku

Untukmu saudaraku    Derajat itu tahap Kita dapat dengan harap Ketika rembulan tak datang Maka purnama akan jadi cahaya Untuk menerangi malam Ketika asa terputus Kita bangun dengan cinta Bukankah cinta segalanya Kerendahan hati adalah bunga Kelembutan jiwa adalah harum Sedangkan setitik angkuh adalah noda Bukankah begitu Bukankah sabar adalah napas Bukankah itu adalah tenaga Pastikan saudaraku lebih paham Lebih mampu memaknai segala laku Lebih mampu tenggelam dalam samudra ilmu Peluk cium saudarimu Keindahan itu akan datang dengan indah Bersandarlah slalu dipelukan Pencipta segalanya   Oleh: Ana Purnama