Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2012

Debu

Aku bukan pujangga yang pandai menghibur dengan sejuta sajak indah apalagi hidup megah Aku hanya debu jalanan Yang datang kotori ruang khayalmu Lalu diterbangkan angin Tapi kau selalu membawaku kembali Cintamu begitu kuat Menempah debu ini jadi permata Permata yang khiasi hatimu Selamanya Sampai pada satu titik dimana aku tak sanggup lagi berkata

Laci Laci Trotoar

“Mas, saya belum makan dari kemarin,” suara itu datang dari trotoar sebelah kanan jalan yang berakhir di gerbang belakang kempusku. Setelah   menoleh kira-kira 90 derajat ke arah kanan, terlihat laki-laki tua berumur sekitar 60-an dengan pakaian yang mengenaskan serta ekspresi wajah penuh keluh. Sosok itu sebenarnya sudah ratusan kali menyapaku tiap aku berangkat ke kampus. Anehnya, aku tidak pernah bosan menjawab sapaan familiar itu dengan uang receh. Ingin sekali mengabaikannya, tapi langkahku terasa berat kalau harus melanjutkan perjalanan tanpa menoleh dan memberinya sesuatu. Penghuni trotoar itu ahli sekali memainkan perannya, peran yang dibuat-buat atau memang hanya itu satu-satunya cara yang bisa dia lakukan untuk bertahan hidup? Aku belum tahu tentang itu. Aku meneruskan perjalanan dan memasuki kampus dengan langkah tergopoh-gopoh karena jarum jam sudah mulai meninggalkan angka tujuh.  ” Assalamu’alaikum, ” ucapku di depan pintu kelas yang masih terbuka. “ Wa’a

Lorong Kebun Bambu

Gambar
“Allahu Akbar Allahu Akbar,” dst… Gema Takbir riuh gemuruh seantero langit sore desa kecilku. Itu pertanda bahwa matahari tengah pamit mengundurkan diri selama dua belas jam ke depan. Umat muslim berbondong-bondong ke masjid untuk menunaikan shalat maghrib secara berjama’ah. Fenomena yang sudah jadi tradisi tiap umat islam sejak Sang Utusan terakhir Muhammad SAW membawa islam untuk umat manusia. Itulah salah satu keindahan menjelang petang di desa Mapin Kebak, tempat kudilahirkan, yang seratus persen warganya memeluk agama islam. Desa itu adalah potongan dari kecamatan Alas Barat yang merupakan hasil pengembangan wilayah dari Kabupaten Sumbawa Besar yang tak lain adalah salah satu wilayah terbesar dari propinsi NTB. Ketika itu umurku masih empat belas tahun, kelas dua SLTP, istilahnya masih begitu, sekarang orang-orang kembali pada istilah SMP yang sempat ditinggal beberapa tahun. Kisah yang akan kawan-kawan simak ini adalah saat-saat paling horror dalam hidupku. Sore yan

Sekoci Mungil

Buliran angin menjamah genit Serupa jemari penari jalang Meremas pelan tuaikan birahi Tapi hanya sekelebat Kini sekociku terabaikan Ditinggalkan ramah alam Sisakan badai yang siap menerjang Degup tegang gerayangi sekoci mungil Nun di ujung cakrawala Noktah biru mencibir acuh Menolak apapun yang hendak datang Lalu kemana harus kudayung pijakan terapung ini Padahal noktah itu, pulau itu Satu-satunya pijakan membumi Ah, Alam tak bersahabat Bahkan Ikan-ikan itu berkecipak riang Kerumuni keperihan di bawah buritan Binatang! Lalu Walet yang angkuh menukik bebas Kepakan sayapnya tak ubah semapur Kicauannya seumpama morse Tawarkan makna geli menggelitik Binatang! Atau kubiarkan saja sekoci terjungkal, lalu tenggelam ke dasar palung Temani ribuan bintang laut redup nan rakus Tidak, Lebih baik mati kemudian karam Setidaknya ada yang datang Pulangkan kegagalan untuk direnungi      Senasib Pinisi yang dikhianati ba

Kuncup Soka

Gambar
Tertancap tegak terpuja Kuncupnya disandera Berebut hangat dengan kaca Soka itu dibalik jendela Jendela biru berkaca Ada kumbang penyamun Ada kupu-kupu pelamun Ada lebah beracun Kasian binatang lanun Sedang soka kian anggun Iri sekalian bunga setaman Tak kunjung jadi idaman Sebab soka terlampau elegan Mustahil jadi saingan Tapi ia tak bertuan Sungguh sayang sekali Indah tapi sendiri Tak tersentuh jari Bak perawan kaum bidadari Hanya tersentuh warna pelangi Kuncup soka resah Seolah tak ingin merekah Karena alam tak ramah Campakkan ia dalam gelisah Kemana soka harus berkisah

Celoteh Pemalas

Gambar
Debu-debu berjelaga di tembok kamarku Menuding semua penghuni di dalamnya Nyamuk-nyamuk berontak dalam perangkap laba-laba Menyisahkan seringai cicak-cicak kelaparan Ada drama penindasan di dinding kamarku Ilmuan berteori tentang evolusi untuk keadaan itu Ulama berwasiat tentang kuasa Tuhan tentang itu Pedagang berkilah bahwa itu adalah transaksi hidup mati Sementara penguasa sesumbar dalam pidato perangnya Adakah pujangga yang mengemas drama itu menjadi puisi? Adakah wartawan merangkainya menjadi berita? Adakah cendekiawan merangkul kenyataan itu menjadi filsafat? Atau mungkin hanya Tuhan yang tau Mengapa fenomena mengerikan itu menjadi bagian dari kehidupan. Semua yang kutemui hari ini begitu janggal Aku rindu dengan semua peristiwa normal sebelumnya Aku muak dengan kejanggalan hari ini Aku cinta saat semuanya kembali pada keseimbangan Aku benci ketika dikhianati keganjilan yang kuciptakan sendiri

Purnama Separuh

Gambar
Tengadahku pada malam Ada purnama separuh Bertahta diantara bintang Biaskan sinar semu kemuning Angkasa petala nirwana Kuning Putih Hitam Kelabu Nyatakan konstelasi galaksi Pajangan Pijakan Lintasan Tanjakan Serasi dalam rasi Seimbang seimbang dalam tembang

Senja Jingga

Ketika candikala dipajang di kaki langit Langit sore merona jingga Awan berkidung warna itu pamit Digantikan kidung kelabu Sekujur bumi digerayanngi Takbir Hamba Tuhan lekas bersuci Niat sujud pada titah Sang Raja Pada detik yang sama Dalam zona yang berbeda

Aurora Menjelang Fajar

Gambar
Aurora menjelang fajar Hadirkan pesona keindahan Jelajahi jagad andromeda Gagahi bintang gemintang Warnai kebisuan angkasa Tuk sambut akhir kelana malam Detik-detik mendatang akan berbeda Karena aurora segera pamit Pamit dari tahtanya yang megah Ketika hamba Tuhan seruhkan asma-Nya Hilang yang telah kupandang Kemudian indah yang kudengar Lalu tak bosan kusejukkan wajahku Air wudhu telah merampas keindahan aurora Sebab Tuhan lebih indah Adil rasanya ketika keindahan direnggut pemiliknya Tinggal ukiran sajadah serupa aurora menjelang fajar Sekarang, Kuingin awali hari dengan salam Sampai rona langit sore menjingga Kemudian berlalu ke rengkuhan malam Berharap fajarku nanti diwarnai aurora Sekali lagi Sekali lagi Berkali-kali

Badai

Ada badai menelikung keteduhan hatiku Memenggal garis bujur samudera jiwaku Menerobos segenap lapisan dinding hatiku yang membiru Membiru karena rindu Rindu-rindu yang berkelebat hebat & menyayat Berbekal ketabahan dan harapan Kusadur sajak pujangga untuk kupatri Kupatri di atas prasaasti sumpahku Sumpah atas dirimu yang kucinta Cinta-cinta yang tak pernah padam Kini, Dawai-dawai gitarku tegang Siap melantun dengan lirik merajuk Lirik-lirik yang menuding sinis Sinis pada kesombongan waktu Waktu yang terlalu angkuh untuk mengerti Mengerti betapa ia terlalu lamban berlalu Tapi. Waktu congkak atas lajunya yang begitu cepat Begitu cepat merampas kenangan Kenangan yang dihalau detik-detik bersamamu Bersamamu yang tak ingin kuakhiri Kuakhiri hanya untuk kembali Kembali karena janjiku Janjiku untuk memilikimu pada akhir kisah yang kuciptakan Inilah potongan terakhir Potongan dari tiap serpihan yang kudulang Akulah pendul