Lorong Kebun Bambu
“Allahu Akbar
Allahu Akbar,” dst…
Gema Takbir riuh gemuruh seantero langit sore desa kecilku. Itu pertanda
bahwa matahari tengah pamit mengundurkan diri selama dua belas jam ke depan.
Umat muslim berbondong-bondong ke masjid untuk menunaikan shalat maghrib secara
berjama’ah. Fenomena yang sudah jadi tradisi tiap umat islam sejak Sang Utusan
terakhir Muhammad SAW membawa islam untuk umat manusia. Itulah salah satu
keindahan menjelang petang di desa Mapin Kebak, tempat kudilahirkan, yang seratus
persen warganya memeluk agama islam. Desa itu adalah potongan dari kecamatan
Alas Barat yang merupakan hasil pengembangan wilayah dari Kabupaten Sumbawa
Besar yang tak lain adalah salah satu wilayah terbesar dari propinsi NTB.
Ketika itu umurku masih empat belas tahun, kelas dua SLTP, istilahnya
masih begitu, sekarang orang-orang kembali pada istilah SMP yang sempat
ditinggal beberapa tahun. Kisah yang akan kawan-kawan simak ini adalah
saat-saat paling horror dalam hidupku.
Sore yang mulai tertelan gelap itu adalah hari kamis, artinya besok
adalah hari jum’at, hari ketika masjid disesaki jama’ah yang seluruhnya laki-laki.
Sekali lagi, itu juga ritual mingguan umat islam diseluruh dunia. Dengan
berakhirnya matahari kamis, maka malam jum’at adalah fase kelanjutannya jika
kita merujuk pada pergeseran waktu.
Sejak dulu, malam jum’at dipercaya sebagai malam yang syarat dengan
kejadian-kejadian aneh, angker, dan menakutkan. Setidaknya sudah puluhan bahkan
ratusan cerita menakutkan menjalari benak orang sekampung tentang kengerian
malam jum’at. Apalagi malam jum’at kliwon. Kliwon adalah hari mistis dalam penanggalan
Jawa. Apalagi kalau hari kliwon jatuh pada hari kamis yang tentu saja dengan
pasti akan berujung pada malam jum’at Kliwon. Mendengar istilahnya saja sudah
membuat anak-anak meringis, merinding, dan menggigil, bahkan banyak dari mereka
yang masih dibawah umur memilih menangis dan tidak patuh pada orang tuanya
ketika disuruh keluar pada malam jum’at kliwon yang fenomenal itu.
Sudah sebulan tanah airku dijadikan sasaran awan mendung untuk
menumpahkan bebannya. Musim hujan, iya, musim hujan adalah undangan alam untuk
para petani menebar benih, bercocok tanam dan meneggelamkan diri sepenuhnya
dalam rutinitas melelahkan selama empat bulan ke depan. Jarang sekali
petani-petani itu menampakkan batang hidungnya di desa, apalagi siang hari.
Keadaan itu akan berlangsung sampai musim panen usai.
Nasib sebagai petani adalah kehendak Tuhan untuk orang tuaku. Jadi, aku
adalah anak petani. Apapun yang dikerjakan orang tua, aku pasti terlibat
didalamnya meskipun tidak keseluruhan dari rutinitas yang dijalani petani.
Namun, ada satu pekerjaan yang pasti bagi setiap anak petani, yaitu mengantar
bekal pada orang tuanya yang sedang menggarap lahan di sawah. Itulah tugasku
setiap hari selama musim bercocok tanam. Lalu siapa yang memasak di rumah kalau
semua orang tua berada di sawah? Nanti kuceritakan kawan. Pasti. Itu adalah
janji. Tapi kita masuk kecerita inti dulu.
Kamis wage sore alias menjelang malam jum’at kliwon yang kuceritakan
sedikit di awal tadi adalah kisah yang sebenarnya ingin kusampaikan.
Sudah tiga hari ayahku tidak pulang dari sawah, jadi aku harus mengantar
bekal untuk belau
tiap sore. Kalau pagi dibawakan Ibu, porsinya uda cukup sampai siang. Baru
menjelang senja Ibu pulang dan mememasak untuk kami semua. Begitulah keadaannya
dan terus berulang. Ketika makan malam ayah sudah siap, maka aku akan menjadi
harapan terbesar apakah ayah akan makan atau tidak malam itu. Jadi aku
mengambil tugas berat ini. Kukatakan berat, sekali lagi karena saat itu
menjelang malam jum’at kliwon. Malam yang paling aku hindari melebihi malam
manapun. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus melakukannya demi ayah, karena ibu
harus istirahat setelah bekerja sepanjang hari.
Kini aku sudah siap berangkat. Rantang, parang, senter dan sebotol air
merupakan barang-barang yang menumpangi badanku sore itu.
“Bu, saya berangkat dulu,” kataku pamit pada ibu.
“hati-hati ya,” dengan sedikit raut kekhawatiran di wajahnya.
“Assalamu’alaikum” ucapku
kemudian berlalu.
“Walaikumsalam” suara ibu
terdengar ikhlas sekali dari belakangku.
Setelah berjalan kurang lebih 30 menit meninggalkan rumah, matahari sudah
tenggelam seluruhnya. Tidak ada lagi cahaya, pun bulan seolah cuti bersinar
malam itu. Aku sudah keluar dari perbatasan desa. Tidak ada lagi rumah-rumah
yang kulewati selama 30 menit terakhir. Nampaknya aku harus menggunakan senter
untuk menuntun perjalanan dalam gelap saat itu. Sepanjang jalan sempit yang
diapit pagar itu senyap sekali. Kini semakin gelap, cahaya dari bola lampu yang
bersandar sepenuhnya pada batu baterai itu terasa semakin terang saja, mungkin
karena tidak ada sedikitpun cahaya lain disekitarnya. Ah, itu hanya hukum
fisika sederhana, tidak perlu kujelaskan karena aku tidak punya wewenang ilmiah
untuk itu.
Tibalah aku pada sebuah tempat yang sudah melanglang buana dari masa ke
masa, cerita tentang tempat itu kian melegenda. Konon, dulu kala saat ayahku
masih kecil, seorang anak hilang dan tak kembali lagi hingga saat ini, kejadian
itu gara-gara anak tersebut memilih tempat itu sebagai tempat bersembunyi untuk
menghindari kawan-kawan sepermainnannya yang bergiliran berjaga-jaga dimarkas.
“Pakk” nama permainan itu. Dimainkan oleh enam anak atau lebih, satu anak yang
paling lemah bertugas menjaga sebuah tiang yang disebut markas, dan sebagian
lagi mencari tempat persembunyian, sementara anak-anak yang punya kecepatan
bertugas sebagai tim sergap untuk mencari anak-anak yang bersembunyi. Menjadi
bagian dari tim sergap adalah suatu kebanggan bagi anak-anak itu. Sementara tim
yang bergiliran sembunyi, harus mencari kesempatan untuk menyusup ke markas dan
menyentuh tiang. Jika itu berhasil, maka tim sergap dinyatakan kalah.
Nah,
disinilah keunikan permainan tersebut, anak yang lemah bisa menjadi sangat
penting karena dia berhak menghentikan penyusupan dengan menyentuh tubuh para
penysup itu sebelum menyentuh tiang. Sebaliknya, jika tim sergap berhasil
menangkap salah satu anggota tim yang bersembunyi sebelum berhasil menyusup,
maka tim sergaplah yang menang. Sebuah permainan konyol di era ini, permainan
yang tengah digandrungi para penguasa, namun pada porsi yang lebih besar dan
bermain dengan nyawa sesungguhnya. Terroris. Itu kira-kira bisa mewakili
keseluruhan permainannya.
Sejak saat itu, banyak cerita mengerikan datang dari orang-orang yang
pernah melewati tempat tersebut. Tempat yang punya reputasi angker itu adalah
sebuah kebun bambu yang cukup luas dan gelap, baik siang maupun malam. Lantai
kebun itu agak gelap karena matahari dihalangi daun-daun bambu yang sangat
lebat dan tidak ada tumbuhan apapun yang bisa bertahan di tanahnya selain
bambu. Fakta itu masuk akal, karena dengan minimnya cahaya matahari, maka
tumbuhan akan sulit bertahan.
Aku segera tersadar dari lamunanku tentang anak yang hilang itu, aku
harus segera sampai ke sawah karena ayahku sudah menunggu dan kelaparan. Aku
harus melewati kebun bambu itu untuk sampai ke area persawahan. Aku tidak punya
pilihan, walaupun ada jalan lain menuju sawah, tapi jalurnya sangat jauh dan
butuh berjam-jam perjalanan. Jadi aku putuskan masuk ke kebun itu. Dengan
langkah sangat hati-hati aku menuruni lembah yang memisahkan kebun tersebut
dengan jalan sempit yang kulewati tadi.
Kini aku telah sampai di gerbang khas kebun di daerahku. Jalan masuknya
dirancang sedemikian rupa sehingga binatang seperti kambing, sapi atau kerbau
tidak bisa memasuki kebun itu. Jalan
masuknya dibuat dari sebatang kayu bercabang sebagai tangga, tangga untuk
sampai bagian pagar yang sudah dipotong bagian atasnya menjadi ruang bebas
hambatan, tingginya sekitar sepusar orang dewasa. Petani didesaku menyebutnya Plontak yang berarti melangkahi. Dengan
demikian, hanya monyet yang bisa melewatinya selain manusia. Lagipula monyet
tidak berkepentingan dengan kebun bambu, tidak ada apa-apa disana untuk
perimata yang disebut-sebut sebagai nenek moyang manusia oleh sekelompok orang
bodoh yang percaya dengan teori evolusi.
Aku sudah berada di dalam kebun, walaupun jalur didalamnya sudah sangat
kukenal, tapi rasanya sangat berbeda dan lebih menyeramkan di malam hari,
karena biasanya aku ke sawah saat matahari masih memanggang punggung gunung
disebelah barat, artinya masih ada sedikit cahaya dan orang-orang masih ramai
menggunakan jalan itu. Tapi tidak kali ini. Sungguh malam jum’at kliwon yang
membuatku takut setengah mati. Apalagi ketika aku sampai di tengah-tengah
kebun, aku tahu posisiku karena jantung kebun itu ditandai dengan sebuah gubuk
reyot yang digunakan sebagai tempat istirahat pemiliknya jika sedang berada
dikebun.
Gubuk itu tampak menyeramkan berada di bawah rumpun bambu yang gelap, ada
beberapa potongan bambu disekitarnya, sepertinya siang tadi pemiliknya datang
dan menebang beberapa pohon dari rumpun bambu dekat gubuk itu. Walaupun tidak
begitu jelas, tapi cahaya senter di kegelapan itu menghadirkan detail-detail
yang aneh dari sekitar gubuk tersebut, mungkin karena ada bayangan dari
benda-benda berserakan yang kebetulan tersorot lampu senterku. Semua
pemandangan itu membuat bulu kudukku serasa kaku menjarum seperti tercabut, hendak
melarikan diri dari kulitku. Tapi bukan itu yang membuatku hampir pingsan.
Dengan keberanian yang susah payah kukumpulkan, aku melewati gubuk reyot
nan seram itu. Aku mulai memasuki lorong-lorong yang terbentuk dari batang
bambu-bambu yang melengkung, ujung-ujungnya saling berkaitan dengan ujung batang
bambu dari rumpun disebelahnya, lorong itu lumayan panjang, karena rumpun itu
tumbuh rapih, berjejer dalam jarak yang berdekatan sepanjang kebun itu. Kalau
kalian pernah berdiri di depan sebuah mulut goa dan tidak melihat apapun dari
luar kecuali setengah lingkaran hitam yang tak berujung, maka itulah persamaan
lorong bambu yang berada di depanku saat itu.
Kakiku sudah selangkah menuju gulita, semuanya terasa begitu lambat. Aku
terkejut seolah jantungku melompat keluar ketika suara dentuman yang entah dari
mana memecah kesunyian lorong itu. Gubrakk, truntum-tum-tum, jantung serasa
kembali ketempatnya kemudian loncat lebih jauh lagi karena kaget setengah mati.
Kali ini sangat jelas, bunyi seperti gedung runtuh itu berasal dari balik
rumpun bambu sebelah kananku. Aku menghentikan langkahku untuk memastikan tidak
ada sesuatu yang berbahaya. Pikirku “mungkin ada sapi yang berkeliaran malam
hari dan terperosok ke lembah.”
Tangisan, itulah suara berikutnya yang mengganggu perjalananku. Ah, ini
bukan sapi, sapi tidak menangis. Tangisan itu semakin keras seolah mendekat dan
semakin dekat. Tiba-tiba lampu senterku mati, aku berteriak sejadi-jadinya
untuk sedikit meredam ketakutan yang sedang menyelimutiku. Gelap, gelap sekali,
bahkan aku tidak bisa melihat telapak tanganku sendiri. Aku ingin berlari tapi
serasa ada beban yang menahan langkahku, aku berteriak lagi, tapi pita suaraku
membeku. Mulutku komat-kamit seperti dukun sakti yang membaca mantera
andalannya.
Aku membaca semua ayat-ayat Al-Qur’an yang pernah ku hafal sebisaku,
sebanyak-banyaknya. Apa yang terjadi? Tidak ada perubahan, malah semakin
mencekam saja. Kemudian aku duduk dengan fose pavorit seperti orang yang mau
buang hajat. Aku menunduk menahan rasa takut, sementara mulutku belum juga
berhenti komat-kamit minta pada Yang Maha Melindungi untuk mengakhiri kengerian
itu. Perlahan-lahan suara tangisan itu menjauh dan menghilang ditelan angin
malam.
Perjalan harus kulanjutkan. Aku berdiri dan memulai langkahku kembali
dengan langkah merabah karena senterku sudah rusak. Sampailah aku di penghujung
lorong itu setelah bersusah payah merabah daun-daun bambu kering dan lapuk di
lantai kebun, walaupun sesekali tanganku menyentuh batang pohon bambu yang
berarti aku salah arah. Untungnya lorong itu lurus, jadi tidak begitu sulit
melewatinya dalam gelap.
Aku tiba di sawah ketika sayup-sayup suara adzan terdengar. Artinya waktu
Isya telah merebut kenikmatan ibadah sholat magrib. Beberapa menit kemudian aku
sudah sampai di depan pondok kecil atau rumah-rumahan sawah dan adzan tak
terdengar lagi.
“Ayah” kupanggil pelan. Tidak ada yang menyaut.
“Ayah” setengah teriak. Belum ada yang menyambut panggilan.
“Ayah” Teriakan pamungkas. Akhirnya…
“Allaaaaaaahu Akbar”. Suara merdu yang sanat ku kenal. Suara itu datang
dari balik dinding pondok.
Wajar saja tidak ada yang menyaut, ternyata ayah sedang sholat isya di dalam
pondok mungil itu. Dengar sabar aku menunggu ayah menuntaskan pengabdiannya
kepada Tuhan. Beberapa sesaaat kemudian ayah muncul dan tersenyum, senyuman
yang sedikit samar, karena cayaha temaram lentera yang tergantung setia di
alang-alang. Aku masuk ke pondok dan memberikan ayah bekal yang telah
disiapkan ibu dengan juataan kasih sayang. Aku juga ikut makan, ketakutan tadi
rupanya telah menguras tenaga dan membuat system metabolisme tubuhku bekerja
ekstra.
“Apa di perjalanan baik-baik saja?” ayah membuka pembicaraan. “ah,
baik-baik saja” aku menutupi kejadian sebenarnya. Bagi remaja laki-laki, sifat
takut adalah sifat sampah yang harus dibuang. Itulah nasehat ayah tiap kali aku
menerima kuliah pribadi dari beliau.
Ayah, sosok yang membuat horror menjadi lucu. Ibu, sosok yang membuat
beras kering dan keras menjadi nasi empuk dan lezat. Kedua sosok itu adalah
maha karya Sang Pencipta bagi keluarganya. Itu adalah hari terkahir dari cerita
horror dalam hidupku.
~
Tamat ~
Komentar