Menari Di Bawah Gerimis

Sore di pertengahan juli, bisa dibilang menuju akhir bulan ke tujuh kalender masehi. Langit cerah hari itu mengawasiku dalam perjalanan pulang setelah hampir setahun jauh dari orang-orang tersayang. Perjalanan yang bagi sebagian orang biasa-biasa saja dan merupakan salah satu tradisi tahunan mendekati lebaran. Tapi bagiku pengalaman itu meninggalkan kesan tersendiri dalam hati karena ditemani seseorang yang sangat ku sayangi.

Tak berlebihan jika ku katakan bahwa dialah dermaga terakhir tempat kulabuhkan sekoci cintaku. Namanya Tini, dia menuntut ilmu di salah satu perguruan tinggi di Pulau Lombok. Jarang sekali terdengar dari mulutnya memanggil namaku. Sekali terucap, tak kurang satu hurufpun, maklumlah namaku begitu melanglang buana dari masa ke masa sejak Mara Rusli menulis kisah cinta jaman penjajahan yang sampai abad ini masih di ingat orang. Namaku “Syamsul Bahri” popular bukan? Bukan main senangnya hatiku ketika dia yang panggil meskipun aku bosan mendengar nama itu ketika dosen membaca absensi kelas saat kuliah, kemudian dihujam lagi dengan semangat teman-teman menanyakan kabar Siti Nurbaya, malu bukan kepalang tapi bangga rasanya. Mahasiswa-mahasiswa asli Malang itu memang kadang keterlaluan, tapi biarlah karena saat ini aku sedang menuntut ilmu di kota mereka. Cukuplah perkenalannya, itu hanya nama kan? Gak penting tapi harus. satu lagi, "Stanza Ghandi" adalah nama pena-ku. mungkin aneh, tapi begitulah manusia. Namun bukan itu yang ingin ku ceritakan. Simaklah shobat…. 

Masih terasa sampai detik ini saat dia lelap dibahuku yang rincih, entah apa yang diimpikannya, yang jelas satu menit seperti memotong jumlah detakannya menajdi 30 detik. Tanpa disadari, kami sampai disebuah tempat yang sangat ramai, sementara bus yang kami tumpangi sudah didesesaki para penantang nasib yang lumayan menjengkelkan saat menjajakan jualannya. Ternyata itu adalah kayangan, gerbang timur pulau Lombok. Mungkin bagi dia itu adalah pemandangan sederhana yang sering dilewatinya saat pulang liburan tapi aku hanya berjumpa suasana itu sekali setahun, bukan kelangkahannya yang membuat aku bergetar, tapi dapat kurasakan jauh di seberang lautan adalah pesisir pantai sumbawa yang tak lain dan tak bukan adalah tanah tempat ku dilahirkan. Pooeeeeemmmm…. Seperti itulah kira-kira yang ku dengar dari balik corong besar di atas buritan kapal petanda kapal akan segera meninggalkan dermaga. 

Di tengah pelayaran, matahari perlahan tenggelam, meninggalkan separuh lingkaran emasnya di atas datarnya lautan, bias cahayanya menari diatas gelombang, indah sekali. Lolongan yang yang sama kembali terdengar, rupanya benda terapung itu telah sampai di Poto Tano (pelabuhan barat pulau Sumbawa), hatiku semakin bergetar tak karuan. Bukan karena deru mesin kapal yang mulai terasa berat menahan berton-ton bebannya, bukan pula karena dingin yang ditinggalkan matahari, tapi setapak lagi aku akan menginjak tanah yang kurindukan. 

Masih sekitar setengah jam lagi perjalanan itu. Rasanya sangat lama tak sama seperti yang ku rasakan saat masih di seberang. “Simpangan Labu Mapin”, suaraku terbatah tapi dengan semangat yang meluap mengingatkan Pak Sopir bahwa disitulah tiketku akan berakhir masa kontraknya. Pukul 22.00 WITA, pusszzzzz,,, rem angin Angkasa (nama bus yang saya tumpangi) meniup debu jalanan simpangan Sanggarahan (nama lain Simpang Labu Mapin) rodanya tak lagi menggelinding, itu dapat ku pastikan karena dengan seksama kuperhatikan dari teras jalan, artinya aku telah menginjakkan kakiku di tanah Sumbawa. 

Dari seberang jalan tengah tersenyum kawanku yang datang menjemput, begitu juga dia, sudah ada yang menunggu. Gelombang darat dalam kegelapan menghadiakan ketenangan luar biasa bahwa aku benar-benar menuju rumah, jalan itu adalah cirikhas Mapin, desa kecilku dimana lebih dari separuh kenangan indah telah kuilewati di atas luluh lantanya jalan itu. Mengerikan sekaligus menenangkan. Kini, puncak kegirangan tak dapat lagi ku tanjaki saat ku cium tangan Ayahku tercinta dan juga Abang serta iparku, satu lagi yang membuat senyumku lebih lebar, aku disambut tangisan si kecil buah cinta pernikahan Abangku. Belum habis rinduku terkuras dengan pertemuan itu, gemerintik yang tak asing terdengar menghujam perlahan. “Gerimis”, itulah cara alam menyambutku. Apakah itu tangisan? Aku tak ingin berasumsi demikian, adalah kesejukan yang lebih pantas bersanding dengan fenomena langkah di musim kemarau saat itu. Aku keluar sejenak merasakan terpaan hujan, sayangnya hanya sebentar. Itu adalah gerimis pertama dalam beberapa bulan terakhir dan malam itu adalah malam pertamaku di rumah dalam setahun terakhir. 

Gerimis yang membuatku ingin menari sampai kuyup dibawahnya. Sungguh tak ada yang istimewah selama di Sumbawa selain malam itu. Bahkan aku jarang sekali bertemu dengan kekasih hatiku. Waktu berjalan lambat sekali, aku hanya di liputi bayang-bayang keraguan dan kecurigaan mengingat banyak kisah rumit yang berawal dari kesalahanku sendiri. Beginikah rasanya dicintai tanpa dipercayai? Atau beginikah akibatnya dicintai tapi tak menghargai? Itu adalah kisah panjang yang tak ingin ku tarik dari lorong terdalam sisi gelap asmaraku. Biarkan saja jadi masa lalu yang terhapus dari sejarah tanpa sedikitpun meninggalkan jejak. Karena hanya akan menyakiti jika terlacak. 

Tahun lalu, negeriku kembali menodai kalender hijriyah, 1 syawal berturut dua hari. Seperti biasa, dua ormas Islam yang tak akur ber-ulah lagi bersaing mencari kebenaran yang membuat semua orang bingung. Jadi, dua kali matahari pagi disambut Takbir kemenangan pada penghujung bulan paling bersejarah bagi rakyat Indonesia, bulan yang membuat seluruh anak negeri tunduk dibawah dwi warna saat Bung Karno berikrar mengatas namakan Bangsa Indonesia menyambut kebebasannya yang sampai sekarang masih dipertanyakan. Berakhirnya Agustus menandai datangnya Syawal yang berarti membawa pesan perpisahan dari Ramadhan. 

Waktuku hambir habis, kesempatanku menghirup udara dibawah pohon-pohon yang tumbuh di tanahku akan segera berakhir untuk sementara. Cintaku juga akan kembali diwarnai rindu-rindu yang tak pernah ku temukan penawarnya. Keperihan yang ku rasakan mungkin tidak lebih perih daripada perasaan kekasih yang tak sempat ku jabat tangannya di bulan syawal. Tak ada satu katapun mampu wakili penyesalanku tentang kenyataan itu. Seminggu syawal berakhir dengan cepat tanpa kesan istimewah. Minggu pertamamku bulan syawal di Sumbawa berakhir di atas kursi yang akan memanjakanku sampai tempat dimana cita-cita telah kugantungkan, aku akan kembali pada tugasku menuntut ilmu ke tanah Jawa. 

Malam sebelum itu buliran angin terasa hangat, nampaknya awan kembali muram dan menangis hingga daun-daun lumpai, jalanan berdecak dan atap-atap rumah menggelitik pendengaran setiap orang yang berteduh dibawahnya. Gerimis seolah melepas malam terakhirku di Sumbawa, aku kembali keluar bukan untuk gerimis, bukan pula ingin menari, hanya ingin menusuri gang-gang kecil yang membawaku ke rumah teman-temanku sekedar menghabiskan malam terakhir di Syawal tahun itu bersama mereka. Tak ada hasrat lagi menemui kekasihku yang bahkan terlalu jujur untuk menyatakan betapa ragu hatinya tentangku. Meskipun aku tak yakin bahwa itu benar, namun itulah pengakuannya. Mungkin saat ini dia telah mengubah seluruh penilaiannya tentangku, tapi berapa lama lagi akan ku tahan kangenku? Bukankah aku telah jauh ketika ia mengingkari pengakuannya waktu itu? Gerimislah satu-satunya hal yang aku ingat saat ku datangi dan kutinggalkan “kampoeng halamankoe”. 

Mencintainya adalah peristiwa yang tak akan pernah kusesali. Dialah sosok yang datang padaku saat gerimis membelai kelopak mataku, dialah yang tersenyum saat gerimis tertahan dipundakku, dia pula yang memelukku saat gerimis mulai membuatku kedinginan. Aku menari di bawah gerimis di antara bayang-bayang tentangnya dan berharap itu akan nyata pada akhirnya. Pesan terakhir yang sempat ku tulis dengan penaku yang mulai kering dengan tinta di Malam ke 25 pada bulan ke sembilan tahun lalu. 
Jika hati tak lagi tunduk pada akal 
Maka kebenaranlah yang akan selalu terucap. 
Karena cinta bukanlah buah akal melainkan dari hati, 
Maka ungkapkanlah cinta jika hatimu yg inginkan itu 
Maka apapun yang terungkap darinya adalah kebenaran 

Sakit dan indahnya perasaan cinta adalah kenyataan yang bahkan tak mampu tersentuh 
Tapi rasanya lebih nyata dari istilah kenyataan itu sendiri 
Sakit dan indahnya kenangan dari buah pemikiran adalah palsu  dan lebih palsu dari kepalsuan itu sendiri 

Tak cukupkah kenyataan itu membuat kita bijak memilih????
 ~ selesai~

Komentar

Unknown mengatakan…
sow swet
Syam Shoel mengatakan…
thank's uda mampir...
Resa Pundarika mengatakan…
Menari DI Bawah Gerimis",

ini udah ku baca,,,ga sekali sih ku baca berapa kali...

1, mudik nih...hehe,,bareng dia....kebayang dan bisa di pahami
...( gimana juga aku pernah alami kok ..)

2. nama tokoh utama dalam kisah Siti Nurbaya jelas tenar dong

tapi di otakku sekarang lebih tenar nama Stanza....yang bikin Mozaik terindah

sebuah kejujuran itu nyata..khan...pasti bisa di terima lah..


3,)..pulang kerumah ,ke kampung halaman....setelah dari rantau apapun sebabnya...
apa sekolah atau kerja....sekalipun rumah di kampung halaman itu sederhana..tapi di situlah kita
menemukan rasa arti pulang kerumah......dan alangkah BERUNTUNGNYA..kamu bisa alami rasa ini....di sambut celoteh riang keponakan dengan manjanya.dengan aduannya..jadi om benar benar...

tengok ke hati...aku jadi paman...beda deh rasanya

sayang saya tidak seberuntung ini...ayah meninggal lebih dulu..kemudian di susul bunda
semuanya udah berumah tangga..tak ada lagi sebutan pulang kerumah dan pulang kampung...
kemudian saya di boyong ke luar negara Indonesia...tak ada kesempatan pulang.
hiks.....that is very sad


4.adalah kisah panjang yang tak ingin ku tarik dari lorong terdalam sisi gelap asmaraku. Biarkan saja jadi masa lalu yang terhapus dari sejarah tanpa sedikitpun meninggalkan jejak. Karena hanya akan menyakiti jika terlacak.

........Kalimat ini membawa kesedihan hati yang dalam

saya tidak tahu apa yang telah terjadi
juga tidak ada gambaran..atau titik titik simpul...
dan..ini satu privacy yang saya hormati...


namun..
ada gambaran irama hati dan jiwa,,pada setiap coretanmu yang pernah ku baca
seorang penulis.. akan mempunyai kepekaan untuk membaca makna tersurat dan tersirat dari
sebuah tulisan.seperti yang pernah saya tuliskan sebelumnya..


Untaian kata telah tertoreh
Dalam stanza irama berduka
Lantunkan kidung rindunya jiwa
hati resah meniti bianglala
Dalam kebisuan kata nan lara


5...apa yang terjadi di tahun 2011,,
ini saya tidak punya gambaran sedikitpun...
apa yang telah terjadi......
sepertinya terjadi peristiwa berdarahkah dari 2 golongn agama
Duh.....


dan selain itu masih juga,,terjadi peristiwa duka yang lain.yang menimpa dirimu secara pribadi
namun berkali kali ku baca....sulit mengambil makna..meninggalkah atau ia berhianat ?


6.tentang pernyataan dan mengungkapkan cinta..ini saya mengerti
di sini tak ada salah atau benar..tapi adanya kebebasan
susahnya aku kalau nulis pakai bahasa Indonesia

saya pernah menuliskan yang saya mengira kita punya kesamaan namun beda bentuk saja


http://id.answers.yahoo.com/question/ind…


Thanks for your share
keep writting
Resa Pundarika mengatakan…
saya juga punya blog seperti ini,,masih bingung bingung juga kalau bisa lihat ke blog ini gimana caranya...dari blogku itu...
udah lama di tinggalkan ,,sekarang selagi mau ingin ku isi lagi :)
Syam Shoel mengatakan…
jadi member di blog ini.. ntar aku akan jd member di blognya Resa...
artinya, sahabat bloger tetap bisa berbagi cerita..
ada di kotak followers..
klik aja already a member..

Postingan populer dari blog ini

Kuncup Soka

Pelopor Ilmu Komunikasi

Sekoci Mungil